Polda Jawa Timur baru-baru ini menangkap aktivis M Fakhrurrozi alias Paul di rumahnya di Sleman, Yogyakarta, pada Sabtu, 27 September 2025. Penangkapan ini terkait dengan dugaan penghasutan aksi protes yang menyebabkan kericuhan di Kediri, Jawa Timur, dan membuat Paul ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian.
Dalam penggeledahan, pihak kepolisian berhasil menyita sejumlah barang bukti penting dari kediaman Paul. Barang-barang tersebut meliputi perangkat elektronik dan dokumen keuangan yang diduga berkaitan dengan aktivitasnya.
Kabid Humas Polda Jatim Kombes Jules Abraham Abast menjelaskan bahwa barang bukti utama yang disita adalah ponsel, laptop, tablet, lima kartu ATM, dan satu buku tabungan atas nama tersangka. Penegakan hukum ini menunjukkan keseriusan pihak kepolisian dalam menangani kasus ini.
Penyitaan Barang Bukti dan Skandal Aktivis
Dalam proses penyidikan, tim dari Polda Jatim menemukan berbagai buku di rumah Paul, meskipun buku-buku tersebut dianggap tidak relevan dengan kasus yang menimpanya. Menurut Jules, buku-buku itu kemungkinan besar akan dikembalikan setelah proses pemeriksaan selesai.
“Buku-buku tersebut tidak berhubungan langsung dengan perkara yang menjerat Paul, sehingga kami berencana untuk mengembalikannya,” jelas Jules. Ini memberikan gambaran bahwa meskipun banyak barang yang disita, tidak semua barang tersebut berhubungan langsung dengan dugaan penghasutan.
Penggeledahan dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan barang bukti dan memastikan tidak ada informasi yang hilang. “Kami ingin memastikan bahwa semua bukti tertangkap dan tidak ada yang dihilangkan oleh tersangka,” imbuh Jules.
Dugaan Penghasutan dan Tindakan Hukum
Polda Jatim telah menetapkan Paul sebagai tersangka kasus penghasutan yang dituduhkan terkait dengan aksi demonstrasi yang berujung kericuhan di Kediri, pada 30 Agustus lalu. Penetapan tersangka ini mengikuti gelar perkara yang dilakukan oleh penyidik Ditreskrimum sehari sebelum penangkapan.
Jules menegaskan bahwa tindakan penangkapan dilakukan untuk kepentingan penyidikan dan untuk menjaga agar Paul tidak menghilangkan barang bukti penting. “Ini bertujuan untuk menjaga keutuhan proses pembuktian,” kata Jules.
Pasal yang digunakan untuk menjerat Paul merupakan kombinasi dari beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), termasuk Pasal 160, Pasal 187, dan Pasal 170. Hal ini menunjukkan kompleksitas kasus yang dihadapi oleh Paul.
Kritik dari Lembaga Bantuan Hukum
Direktur LBH Surabaya, Habibus Shalihin, mengkritik penangkapan yang terjadi, dengan mengatakan bahwa proses hukum yang diambil tidak sesuai dengan prosedur. Dia menjelaskan bahwa Paul tidak pernah menerima pemanggilan sebelumnya, yang merupakan salah satu haknya dalam proses hukum.
Menurut Habibus, penangkapan Paul dilakukan berdasarkan laporan yang dibuat oleh anggota Polri tanpa adanya laporan dari masyarakat, yang dikenal dengan istilah Laporan Polisi Model A. Ini menjadi sorotan karena dianggap tidak memenuhi syarat administratif yang berlaku.
“Penangkapan ini seharusnya membutuhkan dua alat bukti,” tegas Habibus, menekankan bahwa Paul tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai statusnya. Hal ini menunjukkan adanya ketidakberesan dalam proses hukum yang dijalani oleh aktivis tersebut.
Pelanggaran Hukum dan Proses Ketidakadilan
Habibus menambahkan bahwa penetapan tersangka harus didasarkan pada dua alat bukti yang sah dan pemanggilan sebagai saksi terlebih dahulu. “Dalam kasus ini, tidak ada prosedur yang dilalui dengan benar,” imbuhnya.
Keputusan aparat untuk menangkap Paul tanpa pemanggilan dan proses yang semestinya dicurigai sebagai bentuk pelanggaran hukum acara. LBH Surabaya menganggap tindakan tersebut menyalahi prinsip-prinsip keadilan yang seharusnya dipegang teguh oleh pihak berwenang.
“Setiap individu berhak atas perlindungan hukum dan prosedur yang adil, dan situasi yang terjadi pada Paul sangat meragukan,” ungkap Habibus. Penangkapan ini tidak hanya memicu reaksi dari keluarga dan pendukung Paul, tetapi juga menimbulkan pertanyaan lebih luas tentang penegakan hukum di Indonesia.