Rapat paripurna DPR RI dengan agenda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dijadwalkan akan dilaksanakan pada tanggal 18 November. Proses ini merupakan langkah penting dalam perbaikan hukum di Indonesia, mengingat RKUHAP merupakan regulasi yang sudah berusia lebih dari empat dekade.
Pengesahan RKUHAP ini muncul setelah diskusi dan kesepakatan yang cukup panjang di tingkat internal DPR. Sebelumnya, pada 13 November, RKUHAP telah dibahas secara mendalam di rapat pimpinan, menunjukkan keseriusan DPR dalam membawa materi ini ke tahap finalisasi.
Wakil Ketua DPR, Cucun Ahmad Syamsurizal, saat di Kompleks Parlemen Senayan mengungkapkan bahwa proses ini telah tuntas di tingkat satu. Hal ini menandakan bahwa DPR siap untuk membawa RKUHAP ke ranah hukum yang lebih formal dan resmi.
Dengan terpilihnya RKUHAP untuk segera disahkan, ini menandai sebuah momentum bagi perubahan hukum acara pidana di Indonesia. Dalam konteks hukum dan keadilan, pembaruan ini diharapkan dapat membawa dampak signifikan bagi masyarakat dan sistem hukum nasional.
Dampak Penyusunan RKUHAP Terhadap Hukum di Indonesia
Revisi terhadap RKUHAP ini menjadi penting karena keberadaan undang-undang yang lama dirasa sudah tidak memadai lagi. Berbagai substansi baru akan dimasukkan untuk menyesuaikan hukum acara pidana dengan perkembangan zaman dan perubahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan.
Beberapa hal baru dalam RKUHAP termasuk penyesuaian kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut. Selain itu, ada penegasan mengenai hak-hak tersangka dan terdakwa yang perlu mendapatkan perhatian lebih dalam proses hukum.
Perubahan ini juga akan menguatkan peran advokat dalam setiap tahap proses hukum. Dengan begitu, diharapkan keadilan bisa lebih mudah dijangkau oleh masyarakat yang terlibat dalam kasus pidana.
Namun, pengesahan ini tidak tanpa tantangan. Beberapa kalangan mengkhawatirkan bahwa proses yang dilakukan kurang memadai dari segi partisipasi publik. Ini memunculkan kritik terhadap transparansi dalam penyusunan RKUHAP.
Protes dari Koalisi Masyarakat Sipil Terhadap RKUHAP
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menyatakan penolakan terhadap rencana pengesahan RKUHAP dengan alasan bahwa proses pembahasan terindikasi cacat formil dan materiil. Mereka mencurigai adanya ketidakberesan dalam tahapan yang telah dilalui dalam penyusunan RUU ini.
Sebagai bentuk protes tersebut, mereka melaporkan sebelas anggota Panita Kerja RKUHAP ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR akibat dugaan pelanggaran etik. Mereka berargumen bahwa penyusunan RKUHAP yang dilakukan tidak melibatkan partisipasi publik secara maksimal.
Kritik ini semakin memperkuat posisi masyarakat sipil dalam memperjuangkan transparansi dan kesetaraan dalam sistem hukum. Mereka menuntut agar suara masyarakat didengar dan diikutsertakan dalam proses legislasi yang penting ini.
Koalisi menyatakan bahwa mereka merasa nama mereka dicatut dalam penyusunan RUU tersebut, yang menambah ketidakpuasan mereka terhadap proses legislasi yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi antara DPR dan masyarakat harus dibangun dengan lebih baik.
Pentingnya Keterlibatan Publik dalam Proses Legislasi
Partisipasi publik dalam proses legislatif merupakan unsur yang sangat penting untuk menciptakan undang-undang yang adil. Demokrasi membutuhkan kontribusi dari semua elemen masyarakat agar setiap kepentingan bisa terakomodasi dengan baik.
Ketika masyarakat bisa terlibat aktif dalam pembentukan kebijakan, ini akan menghasilkan regulasi yang lebih baik dan lebih mendukung kepentingan publik. Proses dialog antara legislatif dan masyarakat sangat krusial dalam mewujudkan undang-undang yang berkeadilan.
Dalam kasus RKUHAP, tantangan transparansi menjadi isu yang harus ditangani. Jika masyarakat merasa tidak terlibat atau didengarkan, maka kepercayaan terhadap lembaga legislatif akan berkurang.
Ke depannya, diharapkan DPR bisa lebih open dan responsif terhadap masukan dan aspirasi publik dalam setiap inisiatif legislasi. Ini tidak hanya akan membantu legitimasi undang-undang, tetapi juga memperkuat institusi demokrasi di Indonesia.







