Pakar kebencanaan dan dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Hijrah Saputra, mengungkapkan keprihatinannya terhadap bencana ekologis yang melanda beberapa wilayah di Sumatra. Banjir dan longsor yang terjadi baru-baru ini menimbulkan dampak signifikan pada masyarakat dan lingkungan. Menurut Hijrah, ini terkait dengan cuaca ekstrem yang dialami oleh Asia Tenggara, yang meningkatkan intensitas pola hujan di daerah tersebut.
Kemunculan fenomena cuaca seperti ini tidak hanya terlihat di Indonesia, tetapi juga di negara tetangga seperti Malaysia. Siklon tropis Senyar yang muncul di Selat Malaka menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan curah hujan ekstrem yang berujung pada bencana besar ini.
Akibat bencana ini, banyak korban jiwa yang jatuh, infrastruktur hancur, dan ribuan orang terpaksa kehilangan tempat tinggal mereka. Hijrah menambahkan bahwa kerusakan lingkungan juga berkontribusi dalam memperparah dampak bencana yang terjadi.
Menganalisis Penyebab Banjir dan Longsor di Sumatra
Salah satu penyebab yang diidentifikasi adalah kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Hijrah menjelaskan bahwa lereng yang gundul dan permukiman yang dekat dengan sungai menjadi faktor penyebab utama. Hal ini menyebabkan sistem drainase menjadi terbatas, sehingga ketika hujan deras, air tidak dapat tertampung dengan baik.
Bukan hanya itu, penggundulan hutan di daerah aliran sungai juga turut berperan. Dalam suatu ekosistem, pohon memiliki peran penting dalam menyimpan air dan mencegah terjadinya longsor. Ketika aktivitas penebangan kayu tidak terkontrol, maka daya resap tanah pun berkurang.
Pada banyak foto dan video yang beredar, tampak kayu-kayu terdampar di sungai dan pesisir, jelas menunjukkan dampak dari penebangan hutan yang tidak bertanggung jawab. Daya dukung tanah berkurang, dan akibatnya, risiko terkena bencana alam meningkat signifikan.
Respons dan Tindakan Pemerintah dalam Penanganan Bencana
Dalam penanganan bencana ini, langkah-langkah cepat dari pemerintah patut diapresiasi. Hijrah mencatat adanya evakuasi menggunakan helikopter dan kapal perang, serta distribusi logistik dan pemulihan layanan listrik yang dilakukan secepatnya. Ini menunjukkan respons darurat yang cukup efektif.
Namun, Hijrah juga menunjukkan bahwa pemerintah perlu memperhatikan aspek jangka panjang. Sistem peringatan dini masih terbatas dan tidak menjangkau desa-desa terpencil, sedangkan tata ruang yang ada juga belum disiplin.
Pentingnya langkah antisipasi jangka panjang menjadi sorotan, di mana rehabilitasi lingkungan harus menjadi prioritas. Jika tidak, dampak bencana serupa akan terus berulang di masa depan.
Pentingnya Rencana Jangka Panjang dalam Menghadapi Bencana
Hijrah menyampaikan bahwa diperlukan pendekatan konkret dalam penanganan bencana ini, yang dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama adalah langkah jangka pendek yaitu fokus pada kegiatan pencarian dan penyelamatan dalam 72 jam pertama, serta penyediaan logistik dan layanan kesehatan bagi korban.
Kedua, untuk langkah jangka menengah, penting untuk melakukan audit kerusakan dan memperbaiki infrastruktur yang rusak. Relokasi warga dari zona-zona berbahaya juga menjadi keharusan agar mereka tidak kembali tinggal di tempat yang tidak aman.
Akhirnya, jangka panjang harus difokuskan pada rehabilitasi daerah aliran sungai, reboisasi lereng, dan integrasi mitigasi bencana ke dalam rencana pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Penting untuk diingat bahwa bencana alam yang terjadi bukan semata-mata takdir. Ini merupakan konsekuensi dari cara manusia mengelola lingkungan. Jika kita ingin mengurangi jumlah korban di masa depan, maka sistem ketahanan harus dibangun dengan disiplin yang baik dalam tata ruang, ekologis, dan sistem peringatan dini yang terintegrasi dengan baik.







