Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengungkapkan saat-saat sulit yang dialami keluarganya setelah kepergian sang ibunda, Ani Yudhoyono, yang meninggal dunia pada 1 Juni 2019. Keluarga Yudhoyono merasakan kehilangan mendalam yang mengubah suasana di Cikeas menjadi ‘gelap’ selama dua tahun setelah peristiwa duka tersebut.
Pernyataan AHY ini disampaikan dalam peluncuran buku “The Mentor: 9 Purnama di Sisi SBY” karya Merry Riana di Jakarta. Ia menekankan betapa berartinya momen tersebut bagi keluarganya dan bagaimana mereka berusaha menghargai kenangan yang telah berlalu.
AHY memberikan gambaran jelas tentang perasaan mereka saat itu, mengatakan bahwa kehilangan Ani Yudhoyono membawa dampak luar biasa. Semua anggota keluarga merasakan beratnya kehilangan, tetapi yang paling terpukul adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai suami dan kepala keluarga.
Pentingnya Dukungan Emosional di Tengah Kesedihan
Dalam proses berduka, AHY menunjuk pada pentingnya dukungan emosional di antara anggota keluarga. Ia menjelaskan bagaimana SBY berhasil melalui masa-masa sulit dengan dukungan dari anak-anak dan orang-orang terdekatnya. Menghadapi kehilangan seorang istri bukanlah hal yang mudah, namun SBY menemukan cara untuk beradaptasi.
Satu cara yang dijalani SBY dalam proses penyembuhan adalah dengan beralih pada hobi kreatif, seperti melukis dan menulis puisi. Aktivitas ini bukan hanya menjadi sarana bagi SBY untuk mengekspresikan perasaannya, tetapi juga membantu mengalihkan perhatian dari kesedihan yang mendalam. AHY berpendapat bahwa kreativitas bisa menjadi jembatan untuk menemukan kembali kebahagiaan dalam hidup.
AHY juga menjadi saksi bagaimana SBY berjuang untuk menemukan kebahagiaan baru dalam hidupnya. Meskipun kesedihan menyelimuti perasaannya, SBY tetap menunjukkan ketahanan yang luar biasa dan berusaha untuk mengedukasi keluarganya tentang pentingnya mengatasi kesedihan.
Membangkitkan Semangat Kehidupan Setelah Kehilangan
Saat mengenang ibunya, AHY menekankan bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Menurutnya, SBY mengajak keluarganya untuk berjuang demi kebahagiaan mereka. Ia menyebutkan, “Happiness is something to fight for. It’s not given,” yang mencerminkan sikap positif SBY dalam menghadapi tantangan hidup.
AHY menambahkan, SBY merasa bahwa kebahagiaan harus diperjuangkan dan tidak boleh bergantung pada orang lain. Melalui pendekatan ini, SBY mengajarkan anak-anaknya pentingnya merawat diri secara emosional dan tidak membiarkan kesedihan membelenggu mereka. Sikap mandiri ini menjadi salah satu pelajaran berharga dalam keluarga Yudhoyono.
SBY tidak hanya mampu bangkit dari duka, tetapi juga menjalani transformasi yang menginspirasi banyak orang. AHY mengagumi ketekunan ayahnya dalam mencari kedamaian dan kebahagiaan di tengah kesulitan, sesuatu yang sangat jarang dimiliki orang lain dalam situasi serupa.
Kenangan Terakhir dan Pembelajaran dari Ani Yudhoyono
Ani Yudhoyono meninggal setelah berjuang melawan penyakit kanker darah yang dideritanya. Selama perawatan medis yang berlangsung beberapa bulan di Singapura, SBY setia mendampingi Ani, menunjukkan komitmen dan cinta yang mendalam antara mereka. Hal ini mengingatkan semua orang akan pentingnya dukungan dalam hubungan keluarga.
Berbagai tindakan medis yang dijalani Ani, termasuk transplantasi sumsum tulang belakang, menunjukkan betapa besar usaha yang dilakukan oleh keluarga untuk menyelamatkannya. Meskipun perjuangan tersebut tidak membuahkan hasil yang diharapkan, nilai perjuangan itu sendiri menjadi pengingat bagi banyak orang tentang betapa berharganya waktu yang dihabiskan bersama orang terkasih.
Ani Yudhoyono meninggal di usia 66 tahun dan meninggalkan kenangan yang akan selalu hidup dalam hati keluarga dan pengikutnya. Latar belakang pendidikan Ani sebagai mahasiswi kedokteran menunjukkan betapa menarik hidupnya sebelum beralih ke dunia politik dan menjadi sosok penting dalam perkembangan Partai Demokrat.







