Mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia mengambil langkah hukum dengan menggugat Undang-Undang No 17 tentang MPR, DPR, dan DPRD atau yang dikenal sebagai UU MD3. Mereka mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meminta agar rakyat, sebagai konstituen, memiliki hak untuk memberhentikan anggota DPR RI.
Dalam sidang yang berlangsung, lima pemohon bernama Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna, menguji Pasal 239 ayat (2) huruf d pada UU MD3. Pasal ini dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi yang lebih besar, seperti kedaulatan rakyat dan partisipasi aktif dalam pemerintahan.
Para pemohon percaya bahwa Pasal tersebut menunjukkan eksklusivitas kepada partai politik dalam proses pemberhentian anggota DPR. Mereka berargumen bahwa peraturan ini tidak mengakomodasi suara rakyat, yang seharusnya menjadi penentu dalam pengambilan keputusan yang melibatkan wakil mereka.
Pembahasan Gugatan oleh Mahasiswa Mengenai UU MD3
Dalam petitumnya, para pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi dapat menafsirkan Pasal 239 ayat (2) huruf d sehingga menyebutkan “diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Permohonan tersebut diajukan bukan dari kebencian terhadap DPR, melainkan sebagai upaya untuk memperbaiki sistem yang ada.
Reaksi mahasiswa terhadap ketentuan ini didasari oleh pengalaman mereka yang merasa terpinggirkan dalam proses politik. Mereka menginginkan adanya mekanisme yang memungkinkan konstituen untuk bisa meminta pemberhentian wakil mereka yang dianggap tidak menjalankan tugas dengan baik, tanpa harus tergantung pada partai politik.
Sebagai tambahan, para mahasiswa memandang bahwa ketiadaan mekanisme ini telah menghilangkan keterlibatan aktif masyarakat dalam politik pasca pemilu. Setelah pemilihan, banyak pemilih merasa tidak ada cara untuk mengevaluasi ataupun menghentikan wakil rakyatnya dari jabatan yang seharusnya dipegang dalam representasi yang kuat kepada rakyat.
Respons dari Partai Politik Terhadap Gugatan Hukum Mahasiswa
Beberapa partai politik di parlemen turut memberikan tanggapan terhadap gugatan tersebut. Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Gerindra, Bob Hasan, menilai gugatan ini merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang sah. Ia percaya bahwa warga negara memiliki hak untuk mengajukan gugatan jika merasa tidak puas dengan suatu sistem.
Bob juga menggarisbawahi pentingnya pengakuan akan peran partai politik dalam proses politik. Ia menegaskan bahwa meskipun anggota DPR dipilih oleh rakyat, status mereka sebagai wakil rakyat tetap terikat dengan partai politik yang mengusung mereka. Karenanya, gugatan ini harus disikapi dengan hati-hati.
Di sisi lain, Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa gugatan ini adalah hal yang lumrah dalam konteks negara demokrasi. Ia menghormati proses yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan mengingatkan bahwa aspirasi masyarakat harus disampaikan dengan mekanisme yang sesuai.
Tanggapan Anggota Parlemen Terhadap Posisi Mahasiswa
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Soedeson Tandra, berpendapat bahwa mekanisme pemecatan anggota DPR yang diatur dalam UU MD3 seharusnya tidak menjadi ranah Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, ketentuan ini merupakan kewenangan pembuat undang-undang yang tidak seharusnya dicampuri oleh lembaga yudikatif.
Ia menambahkan bahwa meskipun setiap orang memiliki hak untuk mengajukan gugatan, isi dari UU MD3 telah diputuskan berdasarkan proses politik yang tepat. Di sisi lain, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PAN, Eddy Soeparno, menekankan peran partai politik dalam mengevaluasi kinerja anggota DPR.
Eddy menyatakan bahwa masyarakat dapat melakukan evaluasi melalui pemilu, di mana suara mereka menjadi penentu untuk memilih kembali atau tidak. Evaluasi tidak seharusnya hanya bergantung pada mekanisme pemberhentian di tengah jalan, yang saat ini dianggap kurang melibatkan suara rakyat secara langsung.
Implikasi Hukum dan Sosial dari Gugatan Mahasiswa
Pergulatan hukum ini membawa dampak penting bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Dengan adanya gugatan ini, diharapkan bisa terbuka diskusi yang lebih luas mengenai peran partai politik dan hak konstitusi rakyat dalam sistem pemerintahan. Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat semakin kritis terhadap representasi mereka di lembaga legislatif.
Apabila Mahkamah Konstitusi menerima gugatan ini dan mengabulkannya, ini bisa menjadi titik balik bagi demokrasi partisipatif di Indonesia. Sebuah keputusan positif bisa membuka jalan bagi terciptanya mekanisme yang lebih demokratis dalam pemberhentian anggota legislatif yang dinilai tidak memenuhi harapan konstituen.
Namun demikian, bila keputusan MK menolak gugatan tersebut, hal ini juga bisa memunculkan tantangan yang lebih besar bagi hubungan antara partai politik dan rakyat. Menyusur rantai komunikasi yang efektif dan transparan antara wakil rakyat dan konstituennya akan semakin dibutuhkan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.







