Densus 88 Antiteror Polri baru-baru ini mengungkap metode baru yang dipakai jaringan terorisme untuk merekrut anak-anak melalui game online. Modus ini menunjukkan adanya kecenderungan penggunaan platform digital sebagai alat untuk mempengaruhi generasi muda, yang semakin marak di era digital ini.
Perekrutan ini dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas komunikasi yang ada dalam game online. Melalui medium ini, terduga teroris mampu membangun komunikasi dengan anak-anak yang terlibat di dalam permainan tersebut.
Dalam konferensi pers yang berlangsung di Jakarta, Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, menjelaskan bahwa proses ini dimulai dengan interaksi anak-anak saat bermain game. interaksi ini kemudian berlanjut ke komunikasi yang lebih intensif untuk membentuk hubungan yang lebih erat.
Perekrutan Melalui Komunikasi di Game Online
Mayndra menegaskan bahwa di dalam game online terdapat sarana komunikasi atau chat yang memungkinkan anak-anak untuk berinteraksi. Setelah terjalin komunikasi awal, perekrut mulai menggiring diskusi ke arah yang lebih terfokus dan intens.
Tahap berikutnya adalah pemindahan komunikasi ke grup yang lebih privat, biasanya menggunakan aplikasi pesan yang lebih aman. Di sini, anak-anak yang terpengaruh bisa mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam sesuai dengan agenda yang dijalankan.
Setelah berhasil menarik perhatian, proses indoktrinasi pun dimulai secara bertahap. Hal ini dilakukan dengan cara menyampaikan ideologi secara perlahan agar anak-anak tidak merasa tertekan atau tersudutkan.
Mayndra menekankan bahwa proses ini tidak langsung menuju kepada ideologi terorisme, melainkan dimulai dari menciptakan minat dan keterikatan. Dengan cara ini, anak-anak cenderung lebih terbuka untuk menerima ajaran dan doktrin yang disampaikan.
Selanjutnya, setelah berada di dalam grup yang lebih kecil dan lebih eksklusif, anak-anak dapat dipengaruhi secara lebih efisien. Di sinilah proses doktrinasi berlangsung dengan lebih mendalam dan terarah.
Peningkatan Kasus Rekrutmen Anak oleh Jaringan Terorisme
Sebelumnya, Densus 88 telah melakukan penangkapan terhadap lima orang yang terlibat dalam proses perekrutan ini. Mereka diketahui berperan aktif dalam mengajak anak-anak dan pelajar untuk bergabung dengan jaringan terorisme yang ada.
Rekrutmen ini tidak hanya terbatas pada satu jenis platform, melainkan melibatkan berbagai media digital. Media sosial, game online, dan aplikasi pesan menjadi ranah yang dimanfaatkan pelas para pelaku untuk mencapai tujuan mereka.
Menyebar melalui berbagai kanal, doktrinasi ini semakin meningkat setiap tahunnya. Data menunjukkan ada 110 anak yang direncanakan melakukan aksi teror di berbagai wilayah pada tahun 2025 mendatang.
Jumlah ini menandakan bahwa penyebaran paham radikalisme melalui media sosial dan digital kian masif. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum dalam menghentikan siklus tersebut.
Melihat fenomena ini, perlu adanya kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak. Kesadaran akan bahaya rekrutmen teroris melalui platform digital harus ditingkatkan.
Upaya Pencegahan dan Edukasi pada Anak Mengenai Bahaya Terorisme
Dalam konteks pencegahan, edukasi menjadi kunci. Orang tua dan pendidik perlu lebih aktif mengawasi aktivitas digital anak-anak. Pelibatan mereka dalam diskusi mengenai penggunaan internet dan potensi bahayanya bisa memberikan pemahaman yang lebih baik.
Selain itu, pemerintah melalui Densus 88 dapat melakukan kampanye penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Sosialisasi mengenai modus-modus rekrutmen jaringan terorisme sangat penting agar orang tua bisa mengenali tanda-tanda anak yang terpengaruh.
Pendidikan karakter di sekolah juga dapat menjadi solusi. Menerapkan nilai-nilai empati, toleransi, dan rasa saling menghargai bisa mengurangi minat anak-anak terhadap kelompok yang menekankan pada kekerasan dan pemisahan sosial.
Implementasi program-program pengawasan dan surveilans di platform digital juga perlu diperhatikan. Keberadaan teknologi yang mampu mendeteksi dan mengawasi interaksi anak-anak di ruang maya dapat membantu mencegah rekrutmen oleh pihak-pihak yang berbahaya.
Dengan tindakan tegas dan preventif, diharapkan anak-anak dapat dilindungi dari potensi bahaya yang ada. Kesadaran kolektif masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan harmoni di tengah maraknya informasi yang tidak terfilter dengan baik.







