Jaksa penuntut umum (JPU) di Kejaksaan Negeri Kupang menuntut mantan Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, dengan hukuman 20 tahun penjara atas kasus kekerasan seksual terhadap tiga anak perempuan. Kasus ini mencuat ke publik dan menimbulkan banyak perhatian, terutama karena pelakunya adalah seorang pejabat yang seharusnya melindungi masyarakat.
Pihak JPU menyatakan bahwa tidak ada alasan yang bisa meringankan hukuman bagi Fajar. Jaksa Arwin Adinata menegaskan bahwa Fajar tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya, yang telah menimbulkan trauma mendalam bagi korban, terutama kepada anak berusia enam tahun.
Menurut JPU, tindakan Fajar tidak hanya melukai keluarga korban, tetapi juga menciptakan keresahan di masyarakat. Perbuatan tersebut telah menjadi viral di media sosial dan sangat mempengaruhi citra kepolisian di Indonesia.
Faktor Penyebab Penuntutan yang Berat Terhadap Eks Kapolres Ngada
Jaksa Arwin menjelaskan alasan-alasan di balik tuntutan tersebut. Selain dampak psikis terhadap korban, perbuatan Fajar telah viral di media sosial dan menarik perhatian media nasional. Hal ini menyebabkan keresahan yang mendalam, terutama di kalangan orang tua yang merasa khawatir akan keselamatan anak-anak mereka.
Fajar juga dituntut karena tindakan tersebut dianggap telah merusak citra kepolisian secara keseluruhan. Sebagai seorang aparat penegak hukum, pelanggaran yang dilakukannya memberi contoh yang buruk bagi masyarakat.
Jaksa mengungkapkan bahwa tindakan Fajar mencoreng masa depan anak bangsa serta mencoreng wajah institusi kepolisian di mata masyarakat maupun internasional. Situasi ini menunjukkan betapa pentingnya integritas bagi seorang yang seharusnya menjadi pelindung hukum masyarakat.
Pasal yang Dikenakan dan Kewajiban Tambahan yang Harus Dipenuhi
Jaksa juga menginformasikan bahwa Fajar dijerat dengan berbagai pasal yang relevan. Tindakan keji tersebut melanggar Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak, serta Pasal 6 dan Pasal 15 Undang-Undang tentang Kekerasan Seksual.
Selain itu, Fajar juga dilaporkan melanggar Pasal 27 dan Pasal 45 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Seiring dengan hukuman penjara, JPU juga menuntut denda sebesar lima miliar rupiah serta restitusi sebesar Rp359.162.000 kepada korban.
Persidangan ini dipimpin oleh ketua majelis hakim A. A. GD. Agung Parnata yang didampingi dua hakim lainnya. Sidang berlangsung tertutup, menunjukkan sensitivitas dari kasus ini yang melibatkan anak-anak.
Kronologi Kejadian yang Berujung pada Penangkapan Fajar
Kasus kekerasan seksual ini pertama kali terungkap oleh Polisi Federal Australia setelah video yang menunjukkan tindakan cabul Fajar terhadap anak berusia enam tahun beredar di situs porno asing. Temuan ini kemudian dilaporkan ke Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri dan diteruskan ke Polda NTT.
Hasil penyelidikan mengungkapkan bahwa kekerasan seksual tersebut terjadi pada 11 Juni 2024 di Hotel Kristal, Kupang. Kasus ini terus berlanjut selama beberapa bulan hingga Januari 2025, dengan skenario serupa yang berlangsung di hotel-hotel lainnya.
Anak berusia enam tahun yang menjadi korban dibawa oleh seorang wanita berinisial SHDR, yang juga terlibat sebagai korban dalam kasus ini. Wanita tersebut mendapat imbalan finansial dari Fajar karena membawa anak tersebut untuk diperlakukan dengan keji.
Konsekuensi Etis dan Hukum bagi Fajar Widyadharma dan Rekan
Pada tingkat etik, Fajar telah dipecat dari dinas kepolisian melalui putusan Komisi Kode Etik Polri. Ia dikenakan sanksi Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH), yang menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran yang dilakukannya.
Walaupun Fajar mengajukan banding atas keputusan pemecatan tersebut, bandingnya ditolak oleh pihak terkait. Hal ini menegaskan bahwa tindakan Fajar tidak dapat dimaafkan dan harus dihadapi dengan konsekuensi hukum yang berat.
Kasus seperti ini menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya memberi perlindungan kepada anak-anak serta keharusan bagi aparat penegak hukum untuk menjunjung tinggi etika dan integritas. Kejadian buruk ini menimbulkan efek jera dan pentingnya penegakan hukum yang tegas untuk menjaga martabat institusi kepolisian.